Rabu, 31 Juli 2013

Pengesahan UU BPJS : Transformasi Jamsostek Menuju Sistem Jaminan Sosial Universal


Pengesahan UU BPJS pada 28 Oktober 2011 lalu menumbuhkan harapan akan datangnya jaminan sosial yang lebih baik bagi kalangan pekerja terutama buruh. Menjadi sebuah angin segar di tengah banyaknya kasus ketidakadilan yang sering dialami para pekerja. Selama ini banyak perusahaan nakal yang tidak mengikutsertakan pekerjanya dalam Jamsostek meskipun UU telah mewajibkan para pengusaha. Akibatnya, banyak pekerja tidak mendapatkan asuransi yang mampu melindungi mereka manakala mengalami kecelakaan kerja, kematian, hari tua, ataupun pensiun.

Sekarang, setelah UU BPJS resmi disahkan, terjadi sebuah transformasi yang sangat signifikan. Dimana jenis kepesertaan jaminan sosial telah berubah menjadi wajib. Seseorang tidak bebas untuk menentukan apakah ia akan menjadi peserta atau tidak dalam program jaminan sosial yang ditentukan Undang-undang. Melainkan wajib menjadi peserta. Demikian pula BPJS tidak dapat memilih siapa yang diterima atau tidak diterima menjadi peserta yang akan ditanggungnya.

Jumat, 26 Juli 2013

Lebih Penting Mana, Baju Baru Atau Hati Yang Baru ?

Lebaran harus identik dengan baju baru, sepertinya sudah menjadi tradisi yang "salah kaprah" di negeri kita ini. Lebaran serasa kurang afdol kalau nggak pake baju baru, sepatu baru, perhiasan baru, mukena baru, pokoknya penampilan yang serba baru dech. Kadang, yang lebih mirisnya lagi acara halal bihalal lebaran justru menjadi ajang untuk show up, berlomba-lomba pamer keduniawian. Kita seolah lupa apa hakikat dan esensi sebenarnya dari Ramadhan dan Lebaran. Idealnya, setelah sebulan "digojlog" oleh Alloh SWT di bulan penuh berkah ini ditempa untuk berlatih melakukan berbagai kebaikan, seharusnya menghasilkan output insan-insan dengan hati baru yang suci dan penuh kebaikan.




Tradisi Lebaran VS Globalisasi
Globalisasi ibarat pedang bermata dua, di satu sisi bisa membuka cakrawala berfikir mendunia. Namun, di sisi lain bisa menggerus nilai-nilai akar budaya bangsa menuju life style kebarat-baratan yang hedonis. Tradisi lebaran yang dulunya sarat dengan nilai kebersamaan bersahaja dalam keluarga, menjadi bergeser mengikuti zaman. Kita seolah dipaksa mau tidak mau untuk beradaptasi dengan pergeseran nilai yang terjadi. Lebaran yang menurut cerita orang-orang dulu "cukup" dilewati dengan kebersamaan dalam keluarga yang penuh kebersahajaan, sekarang sudah berubah drastis. Bahkan sekarang lebaran bisa menjadi "beban sosial" tersendiri, memikirkan bagaimana kita harus tampil sebaik mungkin saat halal bihalal lebaran, status sosial dan tingkat kemapanan seseorang seperti tengah diuji dalam ruang lingkup sosialnya.

Selasa, 16 Juli 2013

Kaderisasi Anak Pada Usia Golden Age Menuju Indonesia Lebih Baik


Kalau harus jujur, Indonesia saat ini tengah dalam krisis kebangsaan yang sangat serius. Problem sosial, masalah kesenjangan dan kesejahteraan menjadi masalah menahun yang terpampang nyata di negeri ini. Mirisnya, kebanyakan dari pemimpin kita yang diharapkan bisa menjadi solusi problem bangsa, entah mengapa justru sibuk untuk kepentingan pribadinya sendiri. Indonesia seolah tengah mengalami kemunduran dalam karakter dan kepribadian anak bangsa, sebuah krisis generasi yang mengglobal.

Keistimewaan Perkembangan Anak Pada Usia Golden Age
Bayi-bayi yang baru lahir tak ubahnya seperti sebuah kertas putih dan suci. Pada generasi-generasi baru inilah tersimpan harapan besar akan adanya Indonesia yang lebih baik di masa depan. Pemahaman dan penanaman nilai-nilai moral yang baik akan lebih efektif jika ditanamkan sejak dini. Menurut para ahli, pada usia 0-5 tahun (Golden Age) anak mengalami fase tumbuh kembang yang sangat signifikan. Pada usia ini otak anak mampu menyerap informasi yang sangat tinggi. Informasi sekecil apapun akan berdampak besar bagi masa depannya di kemudian hari. Di masa inilah momen terbaik bagi para orangtua untuk membentuk karakter dan kepribadian anak. Pada periode golden age, anak mengalami lompatan kemajuan luar biasa baik secara fisiologis, psikis maupun sosialnya. Mereka sangat potensial untuk belajar apa saja. Termasuk berbagai nilai-nilai moral yang luhur. Namun, periode ini juga masa yang kritis. Anak juga mudah menerima dan menyerap nilai-nilai globalisasi yang tak selalu baik. Beberapa bahkan sangat bertentangan dan mengikis nilai-nilai luhur budaya bangsa. Pada konteks ini, kita dihadapkan pada sebuah pertempuran nilai : nilai-nilai moral yang luhur VS globalisasi. Persaingan yang sangat ketat karena globalisasi hadir melalui cara-cara yang kreatif dan menyenangkan. Oleh karenanya sebagai orangtua kita harus bisa lebih kreatif dalam menanamkan nilai-nilai moral yang baik kepada anak dengan cara-cara yang fun.