2030 Indonesia Menjadi Negara
Ekonomi Kuat Dunia
BRIC adalah akronim yang
dipopulerkan oleh Goldman Sachs Group, merujuk pada empat negara calon kekuatan
ekonomi baru dunia pada 2020. BRIC kepanjangan dari Brazil, Rusia, India dan
China. Total produk domestik bruto (PDB) BRIC diperkirakan mencapai US$30,2
triliun atau melampaui PDB tujuh negara industri maju (G-7) pada 2027. Bahkan,
BRIC akan menjadi kekuatan ekonomi paling dominan pada 2050. Namun, BRIC
dianggap belum mencerminkan potensi kekuatan ekonomi yang lebih luas, termasuk
sejumlah negeri berkembang. Untuk mengakomodasinya, Goldman Sachs membuat
istilah baru, yaitu Next 11. Mencakup Indonesia, Turki, Korea Selatan, Meksiko,
Iran, Nigeria, Mesir, Filipina, Pakistan, Vietnam dan Bangladesh.
Morgan Stanley malah mengusulkan tambahan Indonesia pada BRIC menjadi BRICI. Alasannya, dalam lima tahun ke depan, lembaga terkemuka ini memperkirakan PDB Indonesia bakal mencapai US$800 miliar. Senada dengan itu, majalah bergengsi The Economist, pada Juli 2010 juga memasukkan Indonesia sebagai calon kekuatan ekonomi baru pada 2030 di luar BRIC. The Economist mengenalkan akronim baru dengan sebutan CIVETS, kepanjangan dari Colombia, Indonesia, Vietnam, Egypt, Turkey dan South Africa. The Economist memperkirakan PDB enam negara ini rata-rata akan tumbuh 4,5 persen per tahun selama 20 tahun ke depan. Kemunculan CIVETS akan mempercepat pergeseran ekonomi global ke wilayah Timur dan Selatan.
Analis
mengapa Indonesia diprediksi menjadi negara ekonomi kuat di dunia pada tahun
2030. Saat ini Indonesia ditopang oleh 45 juta penduduk kelas konsumsi, tahun
2030 diprediksi menjadi 135 juta. Saat ini 74% PDB ditopang oleh 53% penduduk
perkotaan, tahun 2030 diprediksi penduduk perkotaan menjadi 71% yang menopang
86% PDB. Saat ini perekonomian didukung oleh 55 juta tenaga skill, tahun
2030 diprediksi menjadi 113 juta. Saat ini terdapat peluang pasar sebesar US$
0,5 triliun pada sektor jasa consumer, pertanian, perikanan,
sumber-sumber alam (resources) dan pendidikan; pada 2030 diprediksi
menjadi US$ 1,8 triliun.
Perlu
menjadi perhatian bersama, pada 2012 sampai 2030, tingkat konsumsi akan tumbuh
7,7% per tahun meliputi saving and investment (10,5% per tahun), food
and beverage (5,2% per tahun), leisure (7,5% per tahun), apparel
(5% per tahun), education (6% per tahun), transportation (4,6%
per tahun), housing and utilities (4,5 % per tahun), telecom (4,7%
per tahun), personal items (5,3% per tahun), dan health care (6,2%
per tahun).
Menuju Swasembada Gula 2014
Produksi
gula dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan total konsumsi domestik, baik
untuk kebutuhan rumah tangga maupun industri. Kementerian Perdagangan RI
mengeluarkan kebijakan impor sebagai solusi, tentu dengan tetap hati-hati dan
sesuai dengan kebutuhan riil yang terjadi. Tiada hari tanpa gula. Kalimat
inilah yang kiranya cukup tepat untuk melukiskan betapa gula sudah menjadi
kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat, baik untuk membuat minuman atau sebagai
bahan pendukung masakan. Bersamaan dengan itu, hampir seluruh industri makanan
dan minuman dengan berbagai jenis dan skala pun seolah tak memiliki energi bila
tidak didukung oleh ketersediaan gula. Maka, tak mengherankan bila
secara nasional kebutuhan gula untuk konsumsi rumah tangga saja mencapai
sekitar 2,97 juta ton Gula Kristal Putih (GKP) per tahun, atau sekitar 250 ton
per bulan. Dengan kata lain, konsumsi gula kristal putih (GKP) masyarakat
Indonesia adalah 12 kg/perkapita/tahun. Jumlah ini pun sangat dimungkinkan
mengalami kenaikan pada beberapa momen tertentu, seperti pada hari-hari besar
keagamaan. Sebab, pada saat-saat itu konsumsi gula pasti meningkat.
Sampai
saat ini, produksi gula nasional sendiri masih jauh dari memadai untuk memenuhi
kebutuhan riil tadi. Kemampuan produksi Indonesia hanya 2,1 juta ton GKP per
tahun, alias masih belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri yang hampir
berada di angka 3 juta ton/tahun. Mari kita hitung, bila jumlah produksi gula
kristal putih (GKP) kita adalah 2,1 ton/tahun seperti data di atas, lalu kita
bagi 240 juta penduduk indonesia
yang mengkonsumsi gula, maka jumlah itu hanya bisa memenuhi sekitar 60%
dari jumlah konsumen tersebut. Menurut catatan data Badan Litbang Pertanian,
produksi gula nasional tahun 2012 mencapai 2.683.709 ton Gula Kristal Putih
(GKP). Sementara itu, dalam roadmap swasembada gula disebutkan bahwa estimasi
kebutuhan gula nasional pada 2014 akan mencapai 2.956.000 ton GKP.
Bagi
Indonesia, mewujudkan swasembada gula sebenarnya sangatlah tidak sulit.
Indonesia merupakan negeri yang potensial menjadi produsen gula dunia. Selain
agroekosistemnya mendukung, luas lahan dan sumber daya manusianya juga sangat
mencukupi. Tentu saja, hal ini harus dilakukan secara terpadu oleh semua pihak
terkait. Untuk saat ini industri gula di Indonesia sendiri baru didukung oleh
59 pabrik gula (PG) dan 8 pabrik gula rafinasi (PGR). Sementara PG-PG yang
berada di Pulau Jawa saat ini kondisinya relatif kurang produktif dikarenakan
faktor usianya yang sudah tua. Selain itu, PG-PG ini juga sangat tergantung
kepada petani tebu yang luas arealnya di Jawa ini sudah sangat terbatas.
Sementara itu, pabrik gula Rafinasi yang ada pun belum berproduksi secara
optimal. Tercatat, sampai 2008 lalu utilisasi kapasitasnya baru sekitar
40% - 60 %. Pembangunan pabrik-pabrik gula di luar Jawa merupakan sebuah solusi
yang bisa ditempuh untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi di wilayah setempat,
terutama wilayah terpencil yang selama ini sulit mendapat pasokan gula dari
Jawa dan harus mengimpor dari negara tetangga, semisal dalam kasus
Kalimantan Barat misalnya. Semoga Indonesia Swasembada Gula di tahun 2014
benar-benar terwujud. Semoga.
PTPN X Sang Pelopor
PT Perkebunan Nusantara X (Persero)
menjadi penghasil gula terbesar secara nasional pada 2012 dengan jumlah
produksi mencapai 494.193 ton atau sekitar 19% dari total produksi seluruh
pabrik gula sebanyak 2,56 juta ton. Produksi pada giling tahun ini meningkat
sekitar 10% dibanding giling 2011 yang hanya berjumlah 446.926 ton dengan lahan
tebu seluas 72.125 hektar. Direktur Utama PTPN X Subiyono mengatakan, “Produksi
gula PTPN X tahun ini paling besar secara nasional, disusul PTPN XI dan Sugar
Group dengan kontribusi masing-masing 16%. Produktivitas tebu tahun ini juga
naik jadi 84,2 ton per hektare dan rendemen (kadar gula dalam tebu) 8,14%,”.
Menurutnya, kenaikan produksi tahun ini tidak lepas dari program optimalisasi
kapasitas produksi dan efisiensi yang dilakukan di 11 unit pabrik gula,
termasuk pembenahan pola tanam dari sisi petani.
Kapasitas 11 pabrik gula yang dimiliki PTPN X sebesar
37.000 ton tebu per hari (TCD) dan tahun ini sudah hampir terpakai seluruhnya.
Target produksi 2013 bisa mencapai 538.000 ton. Tiga dari sebelas pabrik gula
yang sebelumnya dalam kondisi merugi, tahun 2012 kinerjanya juga sudah membaik
setelah dilakukan beberapa pembenahan. Ketiga pabrik gula itu adalah PG
Toelangan, Kremboong dan Watoetoelis (ketiganya di Sidoarjo). Selain itu, PG
Meritjan Kediri yang kinerjanya naik turun, juga sudah tumbuh positif. Dengan
kinerja seluruh pabrik gula yang meningkat dan didukung pertumbuhan positif
dari sejumlah anak usaha, Subiyono optimistis target laba bersih sebesar Rp250
miliar bisa tercapai. Dalam empat tahun terakhir, laba perseroan terus tumbuh
dengan tingkat kesehatan keuangan masuk kategori AAA (sangat baik). Tahun 2011
laba perusahaannya Rp210.808 miliar, naik dibanding 2010 yang hanya sebesar
Rp188.222 miliar. PTPN X sebagai salah satu BUMN bidang perkebunan ini sedang
mempersiapkan diri untuk merealisasikan rencana melakukan penawaran saham
kepada publik (IPO) pada 2014.
Peluang dan Tantangan
Ikatan
Ahli Gula Indonesia (IKAGI) menilai inefisiensi merupakan salah satu masalah
utama yang dihadapi industri gula nasional, sehingga mengakibatkan
produktivitas menjadi tidak maksimal. Inefisiensi industri gula tidak hanya
terjadi pada sisi “on farm” (budi daya), tetapi juga saat proses pengolahan di
pabrik (off farm). Banyak bagian dari tebu yang terbuang saat proses pengolahan
di pabrik gula sehingga membuat rendemen menjadi rendah dan produktivitas juga
menurun. Sebaik apapun kualitas tebu hasil budidaya, jika proses pengolahan di
pabrik gula tidak efisien, produksi juga tidak akan maksimal. Inefisiensi
lainnya juga terjadi pada penggunaan bahan bakar yang masih tinggi. Padahal,
tebu termasuk tanaman yang punya karakteristik sebagai sumber energi.
Seharusnya pabrik gula bisa hemat bahan bakar minyak, karena pada saat giling
mengeluarkan ampas tebu atau bagas yang bisa digunakan untuk bahan bakar
alternatif. Pabrik gula PTPN X telah berhasil melakukan penghematan BBM melalui
pemanfaatan bagas tersebut. Belanja BBM yang pada 2008 mencapai Rp128 miliar,
selama empat tahun terakhir berhasil ditekan dan penggunaan BBM pada 2011 hanya
sebesar Rp8 miliar. Angka itu masih terus berusaha ditekan, sehingga untuk
giling tahun 2012 belanja BBM PTPN X sudah turun menjadi sekitar Rp3,5 miliar.
Selain
efisiensi, langkah strategis lain untuk mendongkrak kinerja industri gula
nasional adalah dengan melakukan diversifikasi dan optimalisasi. Sudah saatnya
pabrik gula menggarap produk lain turunan tebu, tanpa harus mengganggu tugas
pemenuhan gula sebagai sumber pangan. Salah satunya adalah bioetanol yang
dihasilkan dari molases (tetes tebu). PTPN X yang mengelola 11 pabrik gula,
saat ini sedang membangun pabrik bioetanol yang terintegrasi dengan PG
Gempolkrep di Mojokerto. Pabrik itu berkapasitas 330.000 kiloliter dengan
kebutuhan bahan baku 120.000 ton molases. PTPN X juga mengembangkan energi
listrik di PG Ngadirejo dan PG Pesantren Baru (keduanya di Kediri). Targetnya
di tahun 2013 ini energi listrik itu sudah mulai bisa dijual.
Sebanyak
62 pabrik gula yang beroperasi di Indonesia saat ini seharusnya mampu mencapai
produksi 2,96 juta ton atau lebih per tahun. Namun, kenyataannya produksi yang
dihasilkan baru sekitar 2,3 juta ton. Inefisiensi ini disebabkan oleh pasokan
tebu para petani. Oleh karena itu pembenahan dari sisi ‘on farm’ harus sejalan
dengan ‘off farm’. Dengan usaha yang serius dan profesional dari berbagai
pihak, diharapkan Indonesia swasembada gula di tahun 2014 benar-benar bisa
terwujud. Selain itu, untuk jangka panjangnya, seiring dengan menjelmanya
Indonesia menjadi salah satu negara ekonomi kuat di dunia pada tahun 2030,
Indonesia pun bisa menjadi salah satu negara pengekspor gula terbanyak di
dunia. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar